Wednesday, February 20, 2013

Satu, Dua, Tiga

Hatinya sakit.

Malam itu kala hujan, ia menangis. Menangis. Meringkuk. Bersujud. Terlentang. Terlungkup. Menangis. Samar-samar suaranya. Dalam diam, ia pun berteriak.

Lalu dia tersenyum. Bicara rindu pada udara, menatap penuh langit-langit jingga di kamarnya. Berharap udara akan menghantarkan rindu bodohnya kepada orang itu. Disana. Jauh disana. Yang entah sedang apa. Atau merasakan apa untuknya. Ah, sudahlah.

Rindu yang kalap. Dia adalah pecandu rindu yang bodoh.

Pelukmu, candu untukku. Tubuhmu, rindu terbesarku. Bersamamu, khayalan tertinggiku.Bidadari Rejected (@adelladellaide)

Dia itu bodoh.

Petir menjadi gelegaran tawa yang ia sangat rindu. Rintik hujan seperti suara nafas yang terhembus jelas di microphone ear-set, yang kala itu ia dengar hampir tiap malam. Udara dingin kala itu, bagai fantasi tatkala pria itu memeluknya. Mencium jauh pipinya, dari seberang sana. Dan hembusan lembut angin hujan, bagai suara manja yang sering ia dengar dari telepon. Bodoh, ia gadis bodoh.

Baginya, dia adalah jawaban segala doa.

Tersenyum, lalu air mata itu terjatuh. Satu, dua, tiga.

Kenapa harus dia?


Yeah for you I'll try, I'll try, I'll try, I'll tryI'll pick up these broken pieces 'til I'm bleedingIf that'll make you mine
Bruno Mars - It Will Rain 


Tapi apa? Dia melangkah pergi, meninggalkan dia terlungkup, terjatuh, tersungkur... sendiri. 

Monday, February 04, 2013

Rindu tapi Ironi

Aku ini merindu.
Sama kamu. 
Entah sudah berapa rindu. 
Pokoknya aku rindu. 

Dan pada jarak yang memisahkan, aku makin rindu. 
Pada kesibukan yang meniadakan waktu, aku pasti rindu. 
Terhadap waktu yang saru, oh aku rindu.
Diantara kotamu dan kotaku, dimana harus kuletakkan rinduku padamu?

Adakah rindu yang kau rasakan untukku, sayang?

Ketika memelukmu hanya dalam fantasi.
Menciummu juga hanya fantasi.
Walau hanya berada di sampingmu, itu fantasi.

Rinduku hanyalah sepiring penuh ironi.