Tuesday, October 15, 2013

London Grammar - Strong

LONDON GRAMMAR - STRONG
(lyric video)


One Day, 
I'll be sitting on the front-left side of a car, looking at the city lights and everything goes on with it and everything that's on the road, through the window, while I listen to this song.

Neurons in my head are gonna take me back to some old memories, to some places where all things happened, at some points where I had been--I could never forget. They're gonna throw me back to that first meetings of me and him or me and him or me and him, and everything that came after it; all the sweetest things, all the sweetest nights; all the hurts, all the break-ups, and all the cries. They're also gonna put me back to where I was so damn down, to where I was at my lowest point when "we" was no longer existed.

The road, the lights, the cars, and the trees that I'm seeing through the car's window on that One Day, will show me those moments as if I'm watching live opera. Yes, a live opera. Starring: me. And him, and him, and him--in sequence. A live opera, audience: me. I'm gonna watch the opera until the song fades away.

And I'm gonna sigh at it, at first.

Yea I'm sure I'm gonna sigh of every memory playing over and over and over again.

But on that One Day, when I listen to this song while memories taking me back to some moments of my life, there's gonna be a chosen lucky man sitting next to me, on the right side of the car, driving. And I'm gonna smile at him.

I'm gonna smile at him, and at everything I've paid to get to him. He'll know how strong I have been, he'll know how loud I have spoken, and he'll understand how wrong I have been for having doubt that I might not be in love again after all the hurts.

I'm gonna be in love with him--and so is he. We'll pass the road together, we both will see moonlight underneath the dark sky, we will smile at every thing in our past, and perhaps we'll thank each of them who brought us to that One Day. And yes, we'll go to the same destination by the same road we choose.

On that One Day.


Till that One Day, I just gotta be strong.

Friday, August 23, 2013

Undies?

Okay. I left abandoned this blog for a little too long. Webs could be every inch on the wall, if this were a room. I get it now, that saying that as we step into another pace of life, nothing will ever stay the same. True. This blogging activity, for instance. If you notice.

It has been some times that I thought about writing posting again. Sometime I had it all in my mind--everything that I was going to write about. However, whenever I sat with my laptop on, everything I had in mind just... evaporated that easy.

Anyway, tryna post some thoughts again tonight. Let's see if I'll make it thru or not. Hmm... I'll probably start with this one.

A little clarify: I might be a muslimah who wears hijab but I'm still a free-spirited writer--umm, blogger.

I once read about a quote saying that whenever a girl wear the same undies colour--top and bottom--unintentionally, then she'll know that day is going to be her super fine day. So that day, I wore the same undies colour. I was thinking that day was gonna be bright or something but it was just the same ordinary day. The first time I realized I was wearing matching colour I was like "whoa they match! Yea baby, my day's gonna be so damn fine!" but at the end of the day, I realized nothing to be wow-ed about.

The only thing I fully understand about undies is that women really have to wear em every day in the most comfortable way. Hmm... if matching colour undies help women to elevate her comfort... hmm... probably that's what the saying tries to say. If women feel comfort with everything they wear, then the day will be just fine, no? I see the point.

Okay. Since by the time I'm writing typing this post I'm sick--been having a bad flu. Plus migraine. Now I feel like something's been pounding on my right head and I'm currently gasping for air by my mouth cos I can't breathe normally thru my nose--so I think this is it my post.


Ha-ha. First come-back post and I'm talking about undies. -_-

Monday, June 03, 2013

Bandung: Perfect Memory Scenes (Narrative)

This narration was made in order to join a blog (bandungunite.blogspot.com--which, I found out recently was deleted) with any post about Bandung. Yea, so I made this. But this has never been published before. Once again, this one is a naration. So here it is!

Gue bukan orang Bandung. Ke Bandung pun jarang, bisa dihitung dalam setahun dan mungkin bisa kurang dari 5 kali dalam setahun itu untuk gue mengunjungi Bandung. Gue ga punya siapa-siapa di Bandung. Well, not that I don't have acquaintance or friends in Bandung, but... you know what I mean.
Gue ga tau jalan - jalan apa di Bandung; tempat - tempat hangout apa aja selain yang udah pernah gue denger dan gue datengin sebelumnya. Bahkan gue lupa sekarang, kemana aja tempat yang udah pernah gue datengin. Dan gue pun selalu berasumsi kalau Bandung itu sama aja sama kota Metropolitan ini. Kota macet, kota ramai. Kota dimana orang orang berusaha mencari peluang dengan membuka tempat tempat hangout yang menurutnya punya diferensiasi produk atau jasa dan posisi tersendiri di benak konsumennya. Kota yang mungkin sebentar lagi mungkin bakal banyak gedung gedung pencakar langit seperti disini. Simply, it's not a city to escape for me.
Tapi entah kenapa, gue selalu penasaran ke Bandung. Menelusuri jalan jalan yang dulu pernah kita lewatin. Datang ke tempat tempat yang waktu itu pernah kita datengin. Atau dengan singkat, mengenang semua yang pernah kita lalui.
Masih gue inget jalan jalan yang kita lalui, walau gue lupa apa nama jalannya. Gue juga inget waktu kita tersasar di Bandung, karena kita sama sama bukan berasal dari sana. Waktu kita naik angkot, lalu turun, makan di warung makan lesehan khas Sunda, dan kita baru tersadar kalau kita ga tau ada dimana kita saat itu. Lalu Kamu, dengan ke-sok-tau-an Kamu, bilang kalau kita harus naik angkot yang lain, dan tanpa bertanya sama kang supir, kita naik, dan setelah beberapa saat perjalanan kita masih juga ga tau kita ada dimana.
Waktu sudah sore saat kita tersasar itu. Dan bukannya berusaha bertanya - tanya jalan untuk pulang, Kamu malah mengajak gue untuk berwisata kuliner. Surabi, mie kocok, cimol... sampai - sampai tanpa pikir panjang kita beli peuyeum dengan alasan buat oleh - oleh dari Bandung.
And when the sunshine finally faded away, Kamu baru sadar kalau kita harus segera pulang. And you finally lowered your pride, lalu bertanya sama orang orang tentang jalan dan cara kita pulang. Yup, akhirnya kita naik angkot yang benar dan tanpa tersasar lagi, kita pulang.
The next day, you picked me up from my friend's flat where I stayed for that two memorable days. I wouldn't want to feel that my right ankle was actually in pain since the previous day we had, as we walked and walked and walked through the road. Anyway. Our agenda that day was to go to Ciampelas. Kita berjalan - jalan seperti biasa saat disana. Berhenti hanya untuk makan, duduk dan beristirahat sambil terus mengobrol tentang apa saja. Kita menertawakan orang lain. Kita ngerjain SPG di salah satu toko dengan menyuruhnya mengambil ini itu lalu dengan santainya kita pergi dan tidak membeli apa - apa. Kita mencoba pernak - pernik tapi kita juga tidak membelinya. Hahaha, Kamu. Selalu membuat gue tersenyum simpul saat scene - scene tentang kita disana terulang lagi di benak gue.
Cuma satu yang pada saat itu berhasil gue bawa pulang dalam bentuk nyata. Beberapa hasil photo booth. Dan dari semua hasil itu, cuma ada satu dimana Kamu tersenyum manis. Sisanya, muka Kamu jelek semua...
Yup. Hanya beberapa lembar foto berukuran 2R sebagai hasil nyata kalau gue sudah pergi ke Bandung. Bahkan peuyeum yang saat itu kita beli pun tertinggal di kost-an temen gue. Hahaha. Ya, hanya foto dan kenangan.
Kamu. Dan kenangan kita beberapa tahun lalu. Di Bandung. Dan hanya di Bandung. Kadang gue berharap, suatu saat nanti ketika gue melintasi kota Bandung dengan mobil gue, gue akan bertemu sama Kamu. Lalu (mungkin) mengajak Kamu duduk di bangku sebelah kiri gue. Lalu gue (mungkin) mengajak Kamu melintasi lagi jalan - jalan yang dulu pernah kita lalui dengan angkot. And then let the memory finds us.
Diantara semua keramaian di kota itu, selalu ada harapan yang gue keluarkan. Kamu.
Bandung itu Kamu. Ya, Kamu.

When you see me like this (see me like this)
And when I see you like that (see you like that)
Then we see what we want to see—all comin back to me 
The flesh and the fantasies—all comin back to me
I can barely recall, but it's all comin back to me now
Meatloaf ft. Marion Raven – It’s All Comin Back to Me Now

narrative story by @fanyhervilita



*damn, berasa kemakan tulisan sendiri. hanya saja bukan di Bandung. Tapi Jogjakarta. Bersama si dia, si Kapten. Kaliurang, Condongcatur, Pogung, Bantul, Kota Gede~~~* 

Tuesday, April 16, 2013

This Unsettled Settlement Officer

"I got a new job now on the unemployment line..."

Begitu deh, sepenggal lirik The Script (For the First Time) yang nyentil banget di kepala gue. Berasa disindir luar dalem.

Jadi gini. I had a job as a Personal Tutor in Wall Street Institute Indonesia, at Pondok Indah Mall. I spent three and half months there working in mall-hour shift. It was definitely awesome. I got a chance working with bule, made friends with my students no matter how young or old they were, gained new experience, proved my English proficiency, and yes, my dear reader, I got an amazing chance to obtain a working experience.

But then in February, I decided to resign. Yes, it was a hard decision. Gue pake nangis nangis bombay nelfon seseorang buat cerita soal beginian. Singkat cerita, resign lah gue dari perusahaan edukasi premium multinasional itu. Some said I was stupid, karena gue main resign resign aja gitu, padahal belum dapet pengganti kerjaan atau rencana lanjut studi S2. But I guess they were wrong.

Setelah Februari kan Maret, tho? (yaiyalah fan. ga mutu e) Nah, selama bulan Maret itulah gue dengan bangga menyandang status pengangguran yang gue bawa sampe ke Daerah Istimewa Yogyakarta selama hampir sebulan penuh. Ngapain gue disana? Hayooo kepoooo. Mau tau aja apa mau tau bangeeeeetttt??

Setengah puas nge-hedon ke Jogja, gue balik lagi ke Jakarta--eh Bekasi deng--dengan status pengangguran melarat. Dompet isinya cuma receipt receipt indomaret, mirota, superindo, super sambal, nota laundy, tiket kereta api pulang pergi, dan recehan. Eh by the way, laundry disana murah amir loh! Tiga rebu rupiah meeenn per kilo! Ter-hah-hah sambil melotot gue. Seumur-umur gak pernah gue ngelaundry dengan harga segitu. Bahkan ada juga loooh yang cuma dua rebu lima ratus! Err, oke ini norak.

So where was I again? Oh, yes.

Jadi itu adalah sebuah kejadian yang tak terduga. Somehow I would say it's the plan of God. Kalo katanya Paulo Coelho itu, "maktub". Ada teman sekampus gue bernama Fresnel (iya, si Best Student ituloh, yang pernah gue sebut juga di post gue) yang pada sore hari galau, nge-bbm gue nanyain nomer handphone salah satu dosen IBS. Gue kasih dong. Tapi nyambi. Sambil nanya apa di kantornya ada lowongan atau kagak buat pengangguran bergaya-Jakarta-tampang-Batak-mental-Gombong macem gue. Eeh tak disangka, doi malah nawarin posisi satu ini nih, Settlement Officer namanya.

Thanks a lot, Fres! :D

Setelah gue interview dan medical check-up, diterimalah gue officially sebagai si Settlement Officer ini. Biarpun cuma kawin kontrak--ngg maksudnya karyawan kontrak--but I guess it's gonna be worth it.

Dan inilah saya, Diofany Hervilita alias Fany alias kakak alias poni alias mak alias dugong yang akan menjadi seorang karyawan di perusahaan multinasional yang menjual minuman bersoda yang sudah terkenal dan merajalela yang harga sahamnya lumayan mahal. Segala impian gue menjadi seorang banker mungkin sudah harus disisihkan ya... ._.

Settlement Officer. Mudah-mudahan sesuai namanya hidup gue yang belum stabil bisa jadi settle. Jiwa gue settle, hati gue settle, keuangan gue settle. Aamiin. Walau mesti mengubur keinginan jadi banker tapi ya... kalo justru kerja begini bikin gue settle, yo wis lah.

By the way, by the time I have this post typed, my dad is currently hospitalised for kidney issue. Semoga beliau cepet sembuh. Dan semoga pintu rejeki terbuka lebar buat orang tua gue. Aamiin :')


I am trying my best to climb the ladder to settle down. Hope it's not slippery so I can reach the goal!


"Get get get in line and settle down... Get in line and settle down..."
No Doubt - Settle Down

Monday, April 08, 2013

Salam Rindu

Untuk kamu, aku rindu.

Kerlingan manjamu, cara tawamu, pelukanmu, caramu membuat aku tenang saat merasa insecure tentang kamu, wajahmu, senyummu, cumbumu, ciummu, suaramu... aku bisa rindu semua tentang kamu.

Kepadamu, aku rindu.

Berhari-hari di kotamu, berangkat sengan segala harapan yang ku gantungkan pada Tuhan. Aku ini wanita pejuang, sayang. Dan kamulah yang aku perjuangkan. Semoga kamu sadar akan hal itu. Semoga terbuka selalu pintu hatimu.

Karena kamu, aku merindu.

Kutitipkan salam rinduku pada hujan. Semoga airnya melaju sampai Jogja. Anginnya berhembus dan membelai pipimu. Hingga kau tau dan mengerti aku yang merindu. Dan semoga, kaupun ikut sama merindunya kepadaku.




Surya,
Aku kangen...

Wednesday, March 20, 2013

Nyata II

dalam eratnya dekapanmu, aku ini bahagia, dan ingin menangis. siapa aku ini buatmu? seakan tak peduli soal itu, kita terus mendekap satu sama lain. Aku sangat ingin menangis, saat kamu memelukku erat. merasakan kulitmu yang menyentuh kulitku. menghirup baumu, sesaat kau bangun dari tidur siangmu. lelahkah kau, sayang? istirahatlah, aku disini. disampingmu. nyata. aku bukan fantasimu. kali ini. hari ini. entah dimana aku esok hari, tapi aku disini hari ini. nyata. dan dalam dekapanmu, hatiku pecah sedikit. bagaimana nanti? bagaimana esok hari? bagaimana saat aku kembali ke kotaku, meninggalkanmu, kembali menggantungkan rinduku akan kamu, dan kembali memfantasikan kamu. saat pipi kita bersentuhan, saat janggutmu dapat jelas kurasa di pipi kananku. lalu kapan? kapan dapat kurasa sensasi itu lagi? kamu yang selama ini hanya ada dalam otakku, kali ini, hari ini, kamu nyata. nyata. ini kupegang pipimu. kubelai rambutmu. kuhirup wangimu. kudekap erat tubuhmu. sayangku, kenapa kita begini?





Jawaban dari segala doa: Nyata.

Wednesday, February 20, 2013

Satu, Dua, Tiga

Hatinya sakit.

Malam itu kala hujan, ia menangis. Menangis. Meringkuk. Bersujud. Terlentang. Terlungkup. Menangis. Samar-samar suaranya. Dalam diam, ia pun berteriak.

Lalu dia tersenyum. Bicara rindu pada udara, menatap penuh langit-langit jingga di kamarnya. Berharap udara akan menghantarkan rindu bodohnya kepada orang itu. Disana. Jauh disana. Yang entah sedang apa. Atau merasakan apa untuknya. Ah, sudahlah.

Rindu yang kalap. Dia adalah pecandu rindu yang bodoh.

Pelukmu, candu untukku. Tubuhmu, rindu terbesarku. Bersamamu, khayalan tertinggiku.Bidadari Rejected (@adelladellaide)

Dia itu bodoh.

Petir menjadi gelegaran tawa yang ia sangat rindu. Rintik hujan seperti suara nafas yang terhembus jelas di microphone ear-set, yang kala itu ia dengar hampir tiap malam. Udara dingin kala itu, bagai fantasi tatkala pria itu memeluknya. Mencium jauh pipinya, dari seberang sana. Dan hembusan lembut angin hujan, bagai suara manja yang sering ia dengar dari telepon. Bodoh, ia gadis bodoh.

Baginya, dia adalah jawaban segala doa.

Tersenyum, lalu air mata itu terjatuh. Satu, dua, tiga.

Kenapa harus dia?


Yeah for you I'll try, I'll try, I'll try, I'll tryI'll pick up these broken pieces 'til I'm bleedingIf that'll make you mine
Bruno Mars - It Will Rain 


Tapi apa? Dia melangkah pergi, meninggalkan dia terlungkup, terjatuh, tersungkur... sendiri. 

Monday, February 04, 2013

Rindu tapi Ironi

Aku ini merindu.
Sama kamu. 
Entah sudah berapa rindu. 
Pokoknya aku rindu. 

Dan pada jarak yang memisahkan, aku makin rindu. 
Pada kesibukan yang meniadakan waktu, aku pasti rindu. 
Terhadap waktu yang saru, oh aku rindu.
Diantara kotamu dan kotaku, dimana harus kuletakkan rinduku padamu?

Adakah rindu yang kau rasakan untukku, sayang?

Ketika memelukmu hanya dalam fantasi.
Menciummu juga hanya fantasi.
Walau hanya berada di sampingmu, itu fantasi.

Rinduku hanyalah sepiring penuh ironi.